Pemiluterang.com – Mulai tahun 2029, Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan bahwa penyelenggaraan pemilu nasional akan dipisahkan dari pemilu daerah atau lokal. Pemilu nasional yang meliputi pemilihan anggota DPR, DPD, serta Presiden/Wakil Presiden, akan diselenggarakan secara terpisah dari pemilu untuk anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta kepala daerah.
Dengan demikian, model “Pemilu lima kotak” yang selama ini digunakan tidak lagi berlaku.
Keputusan ini tertuang dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang disampaikan dalam sidang pengucapan putusan pada Kamis (26/6/2025).
MK menjelaskan bahwa pemisahan ini bertujuan menciptakan pemilu yang lebih berkualitas dan memberikan kemudahan bagi pemilih dalam menjalankan hak pilih mereka sebagai bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat.
“Semua model penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang telah dilaksanakan selama ini tetap konstitusional,” ucap Wakil Ketua MK, Saldi Isra seperti dikutip dari situs resmi MK, Senin (30/06).
Keputusan MK ini juga didasari oleh fakta bahwa penyelenggaraan pemilu yang terlalu berdekatan menyebabkan isu pembangunan daerah seringkali tenggelam oleh isu nasional. MK menilai, masalah pembangunan daerah harus tetap menjadi perhatian utama.
“Masalah pembangunan di setiap provinsi dan kabupaten/kota tidak boleh tenggelam di tengah isu pembangunan nasional yang ditawarkan oleh kandidat di tingkat pusat,” ungkap MK dalam pertimbangan hukumnya.
Selain itu, MK mencatat bahwa jarak waktu yang terlalu dekat antara pemilu nasional dan daerah menyulitkan masyarakat untuk menilai kinerja pemerintahan secara objektif.
Tidak hanya berdampak pada pemilih, jadwal pemilu yang terlalu berdekatan juga memengaruhi partai politik. Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengungkapkan, partai politik kesulitan dalam mempersiapkan kader-kader terbaik untuk kontestasi politik.
“Agenda yang berdekatan membuka peluang perekrutan kandidat berbasis popularitas semata, bukan kualitas,” jelas Arief. Ia menambahkan bahwa situasi ini cenderung melemahkan kelembagaan partai politik.
Dari sisi penyelenggara pemilu, tumpukan beban kerja akibat jadwal yang berimpitan dinilai menurunkan kualitas pemilu. Masa jabatan penyelenggara pemilu juga menjadi tidak efisien karena hanya terfokus pada tugas inti dalam rentang waktu tertentu.
Dampak lainnya adalah kejenuhan pemilih. Menurut Saldi Isra, pengalaman mencoblos banyak kandidat dalam satu waktu dapat memecah fokus pemilih. “Fokus pemilih terpecah karena terlalu banyak calon. Akibatnya, kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat menurun,” tegasnya.
MK menyarankan bahwa jarak waktu antara pemilu nasional dan daerah harus mempertimbangkan aspek teknis setiap tahapan penyelenggaraan. Secara umum, MK menyarankan jarak waktu antara pemilu nasional dan daerah adalah dua hingga dua setengah tahun setelah pelantikan presiden atau anggota DPR.
Untuk mengatasi masa transisi, MK menyerahkan kewenangan kepada pembentuk undang-undang untuk merumuskan aturan yang sesuai.
Amar putusan MK ini memberikan arah baru bagi pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Pemisahan jadwal pemilu diharapkan mampu meningkatkan fokus pada pembangunan daerah, memperkuat kelembagaan partai politik, dan meningkatkan kualitas pemilu secara keseluruhan. Dengan pemilu yang lebih sederhana dan terstruktur, Indonesia diharapkan dapat menciptakan demokrasi yang lebih matang dan inklusif.
